QUR'ANIC STUDIES HADITH STUDIES GENERAL KNOWLEDGE
ISLAMIC NEWS GENERAL NEWS SCHOLARSHIP NEWS
HAPPY STORY SAD STORY CERPEN
MY PROFILE MY VILLAGE YOGYAKARTA
> cellspacing="0" width="
600" style="border-collapse:collapse" cellpadding="" height="28">

bgcolor="#73A4E7" onclick="javascript:location.href='http://ISI URL WEB ATAU BLOG.com/'" align="center">Halaman Depan
bgcolor="#73A4E7" onclick="javascript:location.href='http://blogputra.com/'" align="center">
Siapa Putra ?

Hacking
bgcolor="#73A4E7" onclick="javascript:location.href='http://blogputra.com/'" align="center">
Blogging
komputer
bgcolor="#73A4E7" onclick="javascript:location.href='http://blogputra.com/'" align="center">
Seputar Internet

Selasa, 05 Mei 2009

PesanQ............

Pada dasarnya segala sesuatu pasti memiliki aspek positif dan aspek negatif. Sisi positif diperoleh lewat adanya suatu asas manfaat dari apa yang ada. Sementara asas negatif didapatkan melalui dampak buruk yang diciptakannya. Semisal peristiwa naiknya harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Di satu segi ia melahirkan aspek positif, yakni sebagai sarana penyelamat keuangan negara. Namun, di aspek lainnya ia seolah menjadi sumber kemelaratan rakyat. Keduanya berkolaborasi dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah.

Hal itu tentunya bisa diaplikasikan pula pada sebuah kota yang bergelar “Kota Pelajar”, Yogyakarta. Sebenarnya Yogyakarta memiliki berbagai macam syarat yang diperlukan manusia untuk mengembangkan intelektualnya. Baik intelektual dalam ranah keilmuan saintifik maupun keilmuan dalam bidang keagamaan. Keduanya tersedia dalam sebuah kota yang terkenal dengan sebutan “Kota Budaya” tersebut. Lebih dari seratus perguruan tinggi bertebaran di kota dengan wisata menakjubkan itu.

Dalam segi keilmuan saintifik umpama, UGM (Universitas Gajah Mada) menjadi salah satu opsi terdepan. Dari sinilah muncul ilmuan-ilmuan dan intelektual-intelektual handal yang siap merubah dunia. Selain itu banyak universitas-universitas lain yang menawarkan hal serupa. Dari UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) sampai UTY (Universitas Teknologi Yogyakarta) semuanya menyediakan syarat pengembangan intelektual tersebut. Kampus-kampus tersebut hanya sebagian kecil kedahsyatan ilmu kota Yogyakarta.

Sementara dari kampus yang menawarkan sisi religius terdapat UIN Sunan Kalijaga, UII (Universitas Islam Indonesia), dan kampus-kampus Islam lainnya. Mereka dipercaya sebagai ujung tombak peradaban Islam di masa yang akan datang. Dari situ diharapkan muncul pemimpin-pemimpin berintelektual islami serta berwawasan global yang sanggup menjadi pioner utama tegaknya agama Islam di masyarakat.

Pondok pesantren juga bertebaran di kota Yogyakarta. Pondok-pondok tersebut tersebut didirikan guna menjadi wadah untuk mencetak ulama-ulama yang siap memimpin masyarakat. Semisal Pondok Pesantren Ali Maksum yang telah melahirkan banyak ulama-ulama handal seperti KH. Abdurahman Wahib, Farid Masdar Mas’udi, dan lain-lain. Semuanya menjadi bukti kapasitas pondok pesantren sebagai salah satu basis keislaman.

Namun, pada salah satu sisi yang lain kota gudeg banyak juga menawarkan berbagai aspek negatif, seperti Prostitusi, minuman keras sampai seks bebas. Semuanya tercakup dalam kota yang terkenal dengan candi prambanannya tersebut. Hal itu tentunya tidak mengherankan sehingga Iib Widiyanto, salah satu peneliti dari UII menyebutkan 96 % mahasiswi Yogyakarta tidak perawan lagi. Namun, validitas data tersebut juga masih menuai pro-kontra. Ada yang mengiyakannya, tetapi banyak pula yang tidak percaya dan menanyakan sampel yang dipakai sudah secara komprehensif atau belum, tetapi lepas dari itu semua kota Yogyakarta memang menjadi kota kebebasan bagi sebagian orang. Kebebasan yang kadangkala disalahgunakan untuk melakukan berbagai hal negatif.

Dari itu semua sebenarnya berpulang pada diri kita sendiri bagaimana beradaptasi dengan lingkungan baru seperti Yogyakarta. Mahasiswa haruslah bisa menjaga diri dari perbuatan yang dilarang walaupun jauh dari orang tua. Kesadaran diri (self awarness) juga diperlukan untuk mendapatkan cita-cita yang diidam-idamkan, serta tak lupa niat yang baik selalu harus tertanam dalam diri setiap mahasiswa. Sehingga akan muncul kader-kader yang memperjuangkan nasib bangsa di masa mendatang dan bukan malah mencetak manusia-manusia yang hanya menjadi sampah masyarakat.

Tampaknya problematika seperti itu tidak hanya menerpa kota Yogyakarta saja, tetapi kebanyakan kota-kota besar juga mempunyai hal serupa. Oleh sebab itu, Niat al-Sholihah memang diperlukan bagi kullu thālib yang mencari ilmu. Sehingga dari niat baik tersebut akan muncul pertolongan Allah beserta kemudahan-kemudahan yang diberikannya. Nabi Muhammad bersabda dalam sebuah hadis masyhur ghoir istilāhy yang shahih dari Umar “Innamā al-A’malu bi an-Niyāt wa innamā likuli imriin mā nawā, faman kānat hijratuhū ila Allāhi wa Rasulihī fahijrotuhū ila Allāhi wa Rasulihī wa man kānat hijratuhū lidunyā yushibuhā aw imra’atin yatazawwajuhā fa hijratuhū ilā mā hājara ilaihi” (Muttafaq ‘Alaih). Artinya “Sesungguhnya perbuatan itu harus disertai niat dan sesungguhnya pada setiap individu memiliki niat yang dia niatkan, maka barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya pada Allah Allah dan Rasul-Nya dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia maka ia akan mendapatkannya atau perempuan maka ia akan menikahinya. Oleh sebab itu, hijrah seseorang tergantung pada niat yang dimilikinya”.

Dari sabda Rasulullah bisa ditarik kesimpulan bahwa niat menempati porsi yang urgen dalam aktifitas manusia. Semua perbuatan kalau bisa diniati karena mencari ridho Allah, apalagi mencari ilmu yang merupakan kewajiban kita, maka wajib bagi kita memberikan niat yang baik atas hal tersebut. Sehingga bisa memperoleh manfaat fi al-Dīni wa al-Dunyā wa al-Ăkhirat. Amin....... Wallāhu a’lam bi al-şawāb

Jumat, 17 April 2009

Terorisme

PROBLEMATIKA TERORISME INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Problem terorisme menjadi isu hangat pada zaman kontemporer sekarang ini. Isu ini semakin aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001. Kejadian yang dikenal sebagai “September kelabu” ini menewaskan lebih dari 300 korban jiwa. Peristiwa yang membuat geram pemerintah United States itu pun menjadi isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak untuk memerangi terorisme sebagai musuh internasional.
Di Indonesia sendiri, masalah terorisme pun menjadi hal yang urgen, apalagi setelah terjadinya tragedi bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002. Tragedi yang mayoritas korbannya merupakan warga Australia ini menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang dan mencatatkannya sebagai salah satu tindakan teror yang menimbulkan korban sipil terbesar di dunia.
Setelah peristiwa berdarah tersebut, ternyata aksi terorisme pun tak kunjung berhenti, bahkan malah menjadi. Rentetan aksi terorisme kian marak terjadi, dari mulai peledakan bom di hotel JW. Marriot sampai peristiwa bom Bali II. Tragedi-tragedi berdarah yang membuat geram pemerintah Indonesia ini selain menimbulkan banyak korban harta dan nyawa, aksi ini tentunya membuat keresahan yang berkepanjangan bagi masyarakat dan negara.
Namun yang mencengangkan, para teroris ternyata menggunakan dalih agama Islam sebagai tameng untuk melakukan aksinya tersebut. Tentunya hal ini menimbulkan polemik di antara umat Islam sendiri, mengingat agama Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Pro-kontra di kalangan umat Islam sendiri pun terjadi, mengingat sudah menjadi main stream bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Akankah Islam yang selama ini identik dengan prinsip toleransinya harus dirusak oleh para teroris yang membuat keresahan di masyarakat tersebut? Apakah Islam harus disalahkan atas semua peristiwa yang terjadi, seperti tuduhan kaum barat terhadap Islam? tentunya hal tersebut tak layak disematkan untuk Islam, sebab aksi-aksi anarkis tersebut hanya dilakukan minoritas warga muslim Indonesia. Apalagi MUI (Majelis Ulama Indonesia) serta organisasi-organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah sudah mengutuk peristiwa tersebut.
Walaupun para pelaku terorisme sudah banyak yang ditangkap, ditembak mati, dan dieksekusi mati. Namun hal tersebut masih dinilai kurang, sebab jaringan dan kaderisasi mereka masih terorganisir dengan rapi. Bisa-bisa saja pada waktu tak terduga terjadi aksi terorisme di Indonesia kembali yang dilakukan para kadernya tersebut. Oleh sebab itu, tindakan preventif mutlak diperlukan guna meminimalisir aksi-aksi radikal tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Terorisme
Secara linguistik, istilah teroris berasal dari Prancis pada abad XVII. Kata terorisme yang artinya dalam keadaan teror (under the terror), berasal dari bahasa latin “terrere” yang berarti gemetaran dan “deterrere” yang berarti takut-takut.
Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu sengketa teritorial atau kultural melawan idiologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memililki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh dari sudut pandang yang diserang.
Pada panel PBB bulan Nopember 2004, terorisme didefinisikan sebagai “Any action intended to cause death or serious bodily harm to civilians, non combatans, when the purpose of such act by is nature or context, is to intimidate a population or compel a goverment or international organization to do or to abstain from doing any act” (Segala tindakan yang dilakukan untuk menyebabkan kematian atau kerusakan tubuh yang serius bagi para penduduk sipil, non kombatan dimana tujuan dari aksi tersebut berdasarkan konteksnya adalah untuk mengintimidasi suatu populasi atau memaksa pemerintah atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Penggunakan istilah teroris meluas dari warga yang tidak puas sampai pada non konformis politik. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang, atau negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka.

B. Terorisme di Indonesia
Di negara kita indonesia, teroris biasa diidentikkan dengan golongan Islam radikal. Mereka secara anarkis memerangi dan membantai orang-orang dari negara yang mendzalimi negara-negara Islam, khususnya Amerika Serikat dan sekutunya. Tak pelak, hal tersebut membuat mereka melakukan bom bunuh diri atau aksi anarkis lainnya. Dalam pandangan mereka, tak peduli orang yang mereka bantai terkait atau tidak dengan invasi atau penyerangan ke negara muslim. Tujuan utama mereka adalah segala sesuatu yang yang berbau Amerika dan sekutunya harus dibinasakan.
Dalam perspektif mereka, makna jihad dimaknai secara literalis, yakni perang (war). Implementasinya pun berakhir dengan aksi-aksi yang sangat anarkis, seperti peristiwa bom Bali I dan II, pengeboman hotel JW. Marriot, bom Kuningan, dan insiden-insiden terorisme lainnya. Hal ini tentunya menimbulkan keresahan masyarakat dan negara, sebab Indonesia dikenal sebagai negara yang memegang prinsip toleransi antar umat beragama. Selain itu, Nusantara kita ini juga berasaskan pancasila dan berlandaskan hukum, bukan berupa negara sekuler maupun negara agama.
Alasan-alasan yang dipakai terorisme itu pun hanya bersifat spekulatif belaka, tanpa mempertimbangkan untung ruginya, dampak baik dan buruknya. Dalam peristiwa bom Bali umpama, alasan yang dipakai golongan terorisme atau Islam radikal tersebut ketika melakukan peledakan bom di Bali adalah sebab Pulau Dewata merupakan tempat turis internasional, dimana sebagian besar dari mereka adalah warga negara Ameriaka serikat (AS) dan negara-negara sekutunya. Menurut logika Amrozi dkk., mereka (AS dan sekutunya) ikut andil dalam membuat ketidak adilan ekonomi dunia. Apalagi jika politik negara-negara Barat tersebut dikaitkan dengan agresi Israel ke Palestina. Dengan demikian, lengkap sudah "keburukan" dunia Barat di mata para teroris berbaju Islam tersebut. Di dunia ekonomi, politik, dan budaya, barat telah menularkan penyakit-penyakit berbahaya untyuk umat Islam. Kehidupan hedonis, seks bebas, dan minuman keras yang menjadi pola hidup sehari-hari di "masyarakat Barat" membuat mereka gerah, marah, dan akhirnya membuat deklarasi perang terhadap Barat.
Dari perspektif tersebut, bisa dipahami akar dari logika ekstrim dan radikal di atas. Mereka tidak segan-segan men"cap" buruk untuk warga Barat, dan tidak segan untuk meluluhlantakkan mereka walaupun berada di Indonesia dan memakan korban dari warga Indonesia sendiri, bahkan orang Islam.
Para pelaku bom Bali niscaya adalah orang yang sedang mengalami aliensi, atau setidak-tidaknya penghayatan Islamnya terpecah-pecah sehingga tidak mempunyai rasa empati terhadap sesama. Amrozi misalnya, ketika ditanya mengapa melakukan bom padahal sebagian dari yang tewas juga beragama Islam? Jawab Amrozi "itu salah mereka sendiri, kenapa berada dalam kelompok orang-orang kafir". Mereka lupa bahwa agama, apapun namanya, tidak menyukai ekstrimisme dan kekerasan. Kekerasan bukanlah akar ajaran agama. Bahkan, munculnya agama sebagian merupakan respon dari adanya kekerasan dan ketidakadilan.
Dalam kaitannya dengan kemunculan aksi-aksi terorisme di Indonesia, menurut Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur, lahirnya kelompok Islam garis keras atau radikal tersebut tidak bisa dipisahkan dari dua sebab :
1. Para penganut Islam garis keras tersebut mengalami semacam kekecewaan dan aliensi karena “ketertinggalan” umat Islam terhadap kemajuan barat dan penetrasi budayanya dengan segala aksesnya. Karena ketidakmapuan mereka untuk mengimbangi dampak materialistik budaya barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi ofensif materialistik dan penetrasi barat tersebut.
2. Adanya pendangkalan agama dari kalangan umat Islam sendiri, khususnya angkatan mudanya. Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari mereka yang berlatar pendidikan ilmu eksakta dan ekonomi. Mereka cenderung memahami al-Qur’an secara literal tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, kaidah-kaidah ushul fikih, maupun variasi pemahaman terhadap teks yang ada.
Sebenarnya di dalam Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) nomor 3 tahun 2004 telah dijelaskan tentang hukum terorisme. Disana disebutkan secara eksplisit bahwa hukum terorisme adalah haram. Organisasi kumpulan ulama seluruh Indonesia itu menyebutkan beberapa perbedaan antara terorisme dan jihad :
1. Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskriminatif).
2. Jihad mengandung dua pengertian :
a. Segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala bentuknya. Jihad dalam pengertiam ini juga disebut al-qital atau al harb.
b. Segala upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (Lii’laai kalimatillah).
3. Perbedaan antara Terorisme dengan Jihad
a. Terorisme:
1) Sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis chaos (faudha).
2) Tujuannya urituk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain.
3) Dilakukan tanpa aturan dan sasaran, tanpa batas.
b. Jihad:
1. Sifatnya melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan.
2. Tujuannya menegakkan agarna Allah dan / atau membela hak hak pihak yang terzholimi.
3. Dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas.
Oleh sebab itu semua, tak layak aksi terorisme dikatakan sebagai jihad. Tindakan terorisme tidak hanya menghilangkan jiwa manusia dan merusak harta benda, juga merusak citra agama Islam. Citra Islam sebagai agama pembawa pesan damai dan cinta kasih antar sesama umat manusia, dengan tindak kekerasan sebagian kelompok Islam yang mengatasnamakan jihad, berubah menjadi agama yang menakutkan dan haus darah manusia. Oleh sebab itu, penanggulangan terorisme tidak hanya menjadi tugas pemerintah saja melainkan tugas kita bersama.
Pada implikasinya, aksi–aksi radikal terorisme sebenarnya sangat merugikan bangsa Indonesia sendiri. Diantara kerugian yang dapatkan setelah adanya aksi terorisme antara laian :
1. Memakan harta dan nyawa yang tak bersalah.
2. Menyurutkan devisa negara dari income pariwisata sebagai akibat dari peristiwa bom Bali.
3. Membuat keresahan pada masyarakat yang berkepanjangan.
4. Merusak citra Indonesia dan Islam di mata dunia.

C. Tindakan-Tindakan Preventif Penanggulangan Terorisme di Indonesia
Pada tanggal 9 Nopember 2008 lalu, tiga terpidana bom Bali, yakni Amrozi, Mukhlas, dan imam Samudra sudah dieksekusi mati. Ketiganya menerima hukuman tembak dari tiga regu tembak dari polda Jawa Tengah. Kejadian tersebut terjadi sekitar pukul 00.00 WIB. Di bukit Nirbaya Nusak Cilacap Jawa Tengah.
Namun, setelah eksekusi mati ketiga tersangka bon Bali tersebut bukan berarti aksi terorisme akan berakhir dan tidak menutup kemungkinan terjadinya aksi terorisme yang berkelanjutan, sebab jaringan dan kaderisasi mereka masih terjalin kuat dan mungkin pada waktu yang tidak terduga akan muncul tragedi-tragedi berdarah lainnya akibat aksi-aksi terorisme. Oleh sebab itu, langkah-langkah preventif juga mutlak diperlukan untuk mencegah terjadinya aksi-aksi tersebut. Menurut hemat penulis, langkah-langkah preventif tersebut antara lain :
1. Para tokoh setiap agama harus bersinergi dengan pemerintah dalam rangka mengeleminir perekrutan pelaku terorisme untuk melepaskan label teroris pada kelompok atau agama tertentu.
2. Merekatkan kerjasama didalam kelopok masyarakat Indonesia dan menjalin komunikasi untuk menyamakan persamaan pandangan dari dalam seluruh kelompok masyarakat bahwa terorisme bukanlah nilai/ajaran kelompok atau agama tertentu.
3. menumbuhkan rasa nasionalisme tanah air bahwa nusantara tercinta ini adalah milik bersama yang patut dijaga.
4. Memberikan sosialisasi secara komprehensif pada masyarakat bahwa terorisme hanya mendatangkan dampak buruk bagi negara Indonesia.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan dan saran
Bedasarkan penjelasan penulis diatas, patut disadari bahwa terorisme bukan merupakan idiologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Di samping itu, bisa dikatakan bahwa tindakan terorisme terjadi karena kedangkalan ilmu agama yang mereka miliki.
Tindakan-tindakan preventif juga harus dilakukan untuk menangkal aksi terorisme selanjutnya. Beberapa tindakan-tindakan preventif dalam hemat penulis antara lain :
1. Harus ada sinergi antara tokoh agama dengan pemerintah dalam rangka mengeleminir aksi terorisme.
2. Harus ada persamaan pandangan bahwa teroris bukanlah ajaran agama tertentu, apalagi Islam.
3. Menumbuhkan rasa nasionalisme tanah air.
4. Harus ada sosialisasi secara komprehensif pada masyarakat bahwa terorisme hanya mendatangkan dampak buruk bagi negara Indonesia.
Demikian makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) PPKN. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, maka penulis meminta kritik dan masukan dari dosen.









DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Azzam. Prinsip-prinsip Jihad, terj. Fakhrur Rozi. Klaten: Kafayeh
Cipta Media, 2007.

Abdurrahman, Muslim. “Makna Jihad yang Dibajak” dalam Atho Mudzhar,
Edukasi. Jakarta: Kerjasama Puslitbag Pendidikan Agama dan Badan Litbag
Agama, 2003.

Bisri, Mustofa. "Relasi Politik dan Agama 2008". Mata Air. 19 Desember 2008.

Pranowo, Bambang. "Krisis Spiritual di Tengah ketidakadilan Ekonomi". Jurnal
Bimas Islam. Departemen Agama RI. Vol. I no. 2 tahun 2008.

Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid
Institute, 2006.

“History and causes of terorrism” dalam www. wikipedia. org. diakses tanggal
24 Desember 2008.

“Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia” dalam www. cmm. or. id. diakses
tanggal 24 Desember 2008.

Kompas Cyber Media, 11 September 2004 dalam www. Kompas. com. diakses
tanggal 1 Januari 2009.

Membangun Harmonisme Islam dan Budaya

Membangun Harmonisme Islam dan Budaya

A. Pendahuluan
Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad merupakan agama yang universal untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini. Ajaran yang dibawanya selalu sesuai dalam setiap waktu dan tempat (şālih likulli al-zamān wa al-makān), sehingga terbentuklah islamisasi yang kāffah untuk seluruh suku bangsa, termasuk pula kebudayaan-kebudayaan serta tradisi-tradisi yang ada. Namun, problematika yang muncul dari hal itu pun menjadi sangat bervariasi. Pertama, apakah Islam bisa berinkulturasi dengan kebudayaan-kebudayaan lokal masyarakat dunia yang pada hakikatnya berbeda dengan kebudayaan Islam; kedua, apakah Islam yang benar mesti “galak” terhadap budaya yang bukan bersumber dari Islam, tradisi lokal, dan modernitas; ketiga, adakah Islam bisa berjalan harmonis dengan tradisi-tradisi masyarakat yang ramah, toleran, dan damai. Tentunya hal-hal tersebut menarik untuk didalami.
Di Indonesia Islam masuk secara kultural, tanpa melalui jalur kekerasan. Pendekatan yang digunakan bermacam-macam. Sebagian besar ahli Barat menganut teori bahwa pembawa atau juru dakwah pertama Islam di Nusantara adalah para pedagang muslim yang membawa Islam bersama-sama dengan barang dagangan mereka. Sebuah elaborasi dari teori ini menyatakan bahwa para pedagang muslim itu melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi. Dari situlah terbentuk keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim yang selanjutnya memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam. Sejumlah pedagang itu juga diyakini menikah dengan keluarga kerajaan yang memungkinkan mereka atau keturunan mereka pada akhirnya memperoleh kekuasaan politik yang dapat berguna untuk menyebarkan Islam.
Dalam seminar “Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan pada tahun 1963 dan berbagai seminar lain, terbentuklah suatu konsensus tentang Islam yang datang langsung dari Aceh dan mulai berkembang di Indonesia sejak awal abad pertama hijriyah. Jarak waktu yang lama hingga sekarang, sekaligus perbedaan budaya tentunya tidak bisa menghindarkan suatu proses inkulturasi antara Islam dan budaya masyarakat setempat, sehingga menghasilkan budaya atau sub-sub budaya baru. Budaya yang merupakan kombinasi dan konvergensi dari budaya yang sebelumnya sudah ada. Oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis akan mencoba mencari relasi dan interaksi antara Islam dan budaya tersebut serta cara membangun harmonisme keduanya.
B. Definisi
1. Pengertian Islam
Islam secara etimologi merupakan masdar dari aslama, yuslimu, islāman. Kata ini mempunyai arti masuk ke dalam keselamatan. Makna tersebut memang menunjukkan purpose utama agama Islam, yakni mengeluarkan manusia dari kesesatan dan menunjukkannya kepada jalan keselamatan. Semua kunci keselamatan tercakup dalam Islam, sebab hanya Islamlah agama yang benar di sisi Allah.
Kata Islam terbentuk dari asal kata sin, lam, dan mim. Bentuk ini banyak mempunyai arti, diantaranya adalah as-salmu yang artinya selamat. Selamat disini berarti lepas dari bahaya lahir maupun batin. Ada pula yang membentuk kata as-salām. Kata ini disamping bermakna keselamatan, tetapi juga merupakan salah satu nama Allah, disebutkan demikian karena Ia disifati dengan keselamatan dari aspek tidak bertemunya dengan cacat dan bahaya sebagaimana yang didapatkan mahluk. Selain itu, ada pula yang memberi makna menyerah.
Sedangkan Islam secara terminologi merupakan perwujudan dari kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, berpuasa, dan haji. Namun, secara singkat Islam merupakan salah satu Ibrahimic religion yang diakomodasikan Allah pada Nabi Muhammad melalui perantara Jibril dengan al-Qur’an sebagai kitab sucinya.
2. Pengertian Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta, yakni buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Secara antropologis kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Sedangkan kata culture merupakan bahasa Inggris dari kebudayaan. Culture berasal dari kata latin colere yang berarti “mengerjakan atau mengolah”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam.
E. B. Tylor (1871) pernah mencoba mendefinisikan kebudayaan. Menurut dia kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat kebiasaan, dan kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain perkataan, kebudayaan mencakup seluruh yang didapatkan dan dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
Sementara dalam pandangan Ismail R. Faruqi kebudayaan adalah kesadaan akan nilai-nilai dalam kesemestaannya, yang pada tingkat terendah mengandung makna suatu kesadaran intuitif dari identitas nilai dan urutan tingkat yang sesungguhnya dari setiap nilai, serta kewajiban seseorang untuk mengejar dan mewujudkan nilai-nilai itu. Namun, secara subtansial makna kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia.

C. Relasi Islam dan budaya
Islam yang dibawa Nabi Muhammad merupakan agama yang dilahirkan di tanah Arab, karenanya al-Qur’an berbahasa Arab. Wahyu al-Qur’an jelas bersifat arabi, tidak terpisahkan dari bentuk Arabnya. Allah berulang kali menerangkan dalam firman-Nya bahwa al-Qur’an diturunkan dalam lugah ‘arabiyyah, yakni dalam QS. 12:2; 20: 113; 43: 3; 42: 7; 46: 12; 13: 39; 26: 195; 39: 38; dan 41: 31.
Mungkin muncul pertanyaan, mengapa kebudayaan Islam yang ditujukan pada seluruh umat manusia dan mengarah pada universalitas secara khusus memakai bahasa Arab? Mengapa agama Islam tidak membedakan bentuk bahasa wahyu Tuhan dengan pesan yang terkandung di dalamnya?
Ismail Faruqi menyebutkan tiga alasan mengapa bentuk bahasa al-Qur’an tidak terpisah dari isinya. Pertama, kemudahan mengulang-ulang dan menegaskan apa yang dinyatakan oleh al-Qur’an dengan bahasa lugas dan jelas, ucapan-ucapan penuh tenaga untuk menggerakkan publik, menyentuh perasaan orang Arab sebagai mukhaţab utama, dan mengarahkan intuisi mereka demi memahami arti yang terkandung didalamnya; kedua, unsur-unsur ‘urubah tertentu, berkat tertanamnya mereka dalam-dalam pada bahasa Arab dan kebudayaan Arab di masa kemunculan Islam; ketiga, ketidak-terpisahkannya ‘urubah dan Islam juga didukung oleh alasan sebagai wadah bagi kandungan wahyu, ‘urubah dapat saja meninggalkan dan ditanggalkan oleh Islam, sebagaimana Kristen meninggalkan induk kebudayaan Yahudi tempat kelahirannya; dan Yudaisme kebudayaan Yahudi terus saja berjalan di jalannya yang dulu setelah melahirkan Kristen.
Namun, al-Qur’an yang berbahasa Arab bukanlah menjadikan arabisasi seluruh aspek kehidupan. Proses islamisasi bisa dilakukan tanpa mengubah identitas yang ada. Budaya bangsa yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah keislaman harusnya tidak dihilangkan. Islam dan budaya bisa dikombinasikan sehingga menjadi Islam yang rahmatan li al-‘ālamīn.
Abdurrahman Wahid pernah melontarkan gagasan “Pribumi Islam” untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai sesuatu yang normatif dan praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam “Pribumi Islam” tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing.
Adapun karakter yang melekat dalam “Islam Pribumi”, yaitu pertama, kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat, sehingga Islam bisa lentur dan fleksibel serta mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda. Kedua, toleran, kontekstualitas tersebut pada gilirannya akan menyadarkan bahwa interpretasi sangatlah beragam, sehingga tidak mudah truth claim. Dengan demikian akan melahirkan sikap toleran terhadap berbagai tafsir Islam. Ketiga, menghargai tradisi, ketika menyadari bahwa Islam (pada masa Nabi pun) dibangun atas tradisi lama yang baik. Hal ini menunjukkan Islam tak selamanya memusuhi tradisi lokal. Keempat, progresif, yakni dengan perubahan praktek keagamaan (Islam) diandaikan Islam menerima aspek progresif dari ajaran dan realitas yang dihadapinya. Kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap ajaran agama Islam, tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respon kreatif secara intens. Kelima, membebaskan, Islam merupakan ajaran yang dapat menjawab problematika nyata kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Islam bukan hanya berbicara tentang masalah hal ghaib dan peribadatan, tetapi juga berbicara tentang perjuangan melawan penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, anarki sosial, dan sebagainya.
Aplikasi Islam pibumi paling tidak sudah dilakukan wali songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Mereka menyebarkan Islam lewat tradisi yang berkembang di masyarakat, semisal Sunan Kalijaga yang menyebarkan Islam lewat kesenian wayang. Sunan yang selalu memakai baju khas jawa ini tak menghilangkan unsur-unsur budaya yang melekat pada masyarakat, tetapi mengkombinasikannya dengan ajaran-ajaran yang bernafaskan Islam. Oleh sebab itu, tidak salah jika Geertz mengemukakan Sunan Kalijaga sebagai contoh ideal Islam Jawa, dan pengalaman konversinya sebagai dasar teorinya bahwa Mataram tidak lebih dari “Majapahit yang diislamkan”.
Budaya yang dimiliki bangsa Indonesia sangat beragam. Antara satu suku dengan suku lainnya berbeda-beda. Itulah sebenarnya aset dan identitas yang dimiliki Nusantara ini. Barang berharga yang diwariskan nenek moyang secara turun-temurun dari tahun ke tahun, abad ke abad, serta masa ke masa. Semuanya tertanam kuat dalam jiwa dan raga bangsa Indonesia.
Dalam budaya jawa umpama, unggah-ungguh atau tata krama terhadap orang tua sangat diutamakan. Berjalan di depan orang tua tidaklah pantas dengan semaunya, ada tata cara tersendiri. Orang Jawa sedikit membungkuk dan mengucapkan “nyuwun sewu” bila berjalan di depan orang yang lebih tua. Begitu pula dalam berbicara, ada klasifikasi tersendiri dalam segi linguistik Jawa. Bahasa Jawa ngoko, krama madya, dan krama inggil merupakan strata bahasa dalam masyarakat Jawa. Krama inggil inilah yang digunakan pada orang yang lebih tua.
Terkait dengan varisasi klasifikasi bahasa Jawa tersebut Koentjaraningrat menyatakan :
“Menurut analisis linguistik, unsur-unsur yang menyebabkan berbagai gaya itu dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1) Perbedaan morfologi yang disebabkan karena penggunaan awalan atau akhiran yang lain, dan 2) perbedaan sintaksis karena pengunaan sinonim yang lain, partikel yang lain, kata ganti orang yang lain atau kata petunjuk yang lain. Kecuali ketiga gaya yang paling dasar, yaitu gaya tak resmi, gaya setengah resmi, dan gaya yang resmi (yaitu, ngoko, madya, dan krami), ada enam gaya lain yang terbentuk dari kombinasi dari ketiga gaya dasar tadi. Kecuali itu, dalam bahasa Jawa juga ada suatu kosakata yang terdiri dari kira-kira 300 kata yang wajib dipakai untuk membicarakan milik, bagian tubuh, tindakan, atau sifat-sifat orang kedua yang sederajat, atau orang ketiga yang lebih tinggi kedudukannya atau lebih senior umurnya, kosakata itu disebut krama inggil.”
Budaya Jawa tersebut walaupun tidak bersumber dari Islam, tetapi pada dasarnya merupakan perilaku yang mencerminkan kesopanan. Perilaku yang merupakan manifestasi dari akhlak pada sesama manusia. Islam pun pada hakikatnya mengajarkan hal yang demikian, sehingga antara satu individu dengan individu lainnya hidup rukun dan saling menghormati.

D. Interaksi Islam dan budaya
Pertemuan antara individu yang satu dengan yang lain akan melahirkan sebuah kontak pemikiran dan budaya yang dimiliki oleh masing-masing pihak, sehingga terjadi proses dialektika pemikiran dan budaya secara kontinu. Respon yang berbeda terhadap kontak dan interaksi yang terjadi sesuai dengan dasar potensi dan persepsi yang ada menimbulkan heterogenitas hasil pemikiran dan budaya yang terbentuk. Pemahaman ini terjabarkan melalui sisi empiris yang terjadi antara agama dan budaya.
Agama dan budaya pada dasarnya merupakan dua aspek yang berbeda, tetapi mempunyai dua unsur yang sama sebagaimana disebutkan kuntowijoyo, yakni pertama, keduanya adalah sistem nilai dan sistem simbol. Kedua, keduanya mudah terasa terancam setiap kali ada perubahan. Oleh sebab itu, kolaborasi keduanya tidak mungkin dapat dihindari. Keduanya bisa menjadi kombinasi yang baik selagi hasil pemikiran atau hal baru yang dibentuk tidak kontradiksi dengan ajaran agama.
Pengembangan Islam harusnya dihayati bersama kondisi-kondisi lokal sehingga ia bisa menjadi tuan rumah di tanah manapun. Untuk mencapai maksud ini, cara yang harus dilakukan adalah membangun harmoni, setelah dengan kearifan tinggi dilakukan filterisasi terhadap unsur-unsur lokal yang tidak sesuai. Harmoni dalam konteks hakikat merujuk pada adanya keserasian, kehangatan, keterpaduan, dan kerukunan yang mendalam dengan sepenuh jiwa melibatkan aspek fisik dan psikis sekaligus.
Inkulturasi dan asimilasi antara Islam dan budaya sebenarnya sudah banyak tercipta. Asimilasi budaya terjadi yang sebelumnya diawali konflik dan akomodasi yang pada akhirnya menghasilkan berbagai varian keislaman yang kemudian disebut sebagai Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great tradition. Proses penerjemahan ajaran Islam dalam budaya lokal memiliki ragam varian seperti ritual suluk bagi bagi masyarakat Minangkabau yang mengikuti tarekat Naqsabandiyah, sekaten di Yogyakarta, lebaran di Indonesia, dan lain sebagainya. Fenomena tersebut bagi sebagian peneliti ada yang memandang sebagai penyimpangan terhadap Islam murni dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meski demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi positif dengan mengangap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain. Untuk itu, gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam memahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri, sekaligus akan memberikan kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya Islam.
Dalam Islam Jawa umpama, sebagaimana yang telah dinyatakan Geertz dalam bukunya The Religion of Java bahwa muslim Jawa ia klasifikasikan menjadi tiga kategori, yakni santri, priyayi, dan abangan. Bagi Geertz muslim yang sesungguhnya hanyalah santri karena mereka melaksanakan ajaran Islam secara ketat dan tidak mencampuradukkan dengan berbagai keyakinan dan ekspresi lokal. Mereka adalah komunitas Muslim Strict yang berkarakter puritanis. Sementara abangan bukanlah muslim yang sesungguhnya. Kelompok ini sebenarnya lebih dekat dengan kepercayaan animis dan mengartikulasikan keagamaan dengan berbagai perangkat lokal. Sementara priyayi, yakni para aristokrat, orientasi keagamaannya cenderung pada mistik dan panteistik. Namun, analisis ini juga banyak menuai kritik, diantaranya adalah Harsya W. Bakhtiar. Ia mengatakan bahwa penggunaan abangan, santri, dan priyayi untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam golongan-golongan agama tidaklah tepat, sebab ketiga golongan yang disebutkan tidak bersumber dari satu sistem klasifikasi yang sama. Abangan dan santri adalah penggolongan yang dibuat menurut tingkat ketaatan mereka menjalankan ibadah agama Islam, sedangkan priyayi adalah suatu penggolongan sosial, dan juga penggolongan yang dibuat oleh Geertz tersebut nampaknya sebagai kategori absolut, sedangkan dalam kenyataannya tidak demikian.
Dalam interpretasi Islam dalam masyarakat Jawa, Mark R. Woodward menyebutkan beberapa bentuk. Menurutnya ada empat bentuk prinsip dasar, yakni pertama tauhid (mengesakan Allah). Pada prinsip ini, ulama Jawa mengaitkan konsep tauhid dengan kesalehan yang berpusat pada syariat. Kedua, perbedaan antara wadah dan isi, alam, bentuk, fisik tubuh, dan kesalehan normatif semuanya adalah wadah. Allah, sultan, jiwa, iman, dan mistisisme semuanya merupakan isi. Tujuan wadah adalah untuk menjaga, menahan, dan membatasi isi. Sebaliknya, isi justru “meruntuhkan” itu semua. Kalangan mistikus Jawa meyakini pada akhirnya isi lebih berarti dari pada wadah, sebab ia merupakan kunci kesatuan mistik. Penafsiran tentang wadah dan isi juga banyak dipengaruhi sufi kontroversial al-Hallaj. Ketiga, hubungan hamba dan Tuhan, pada prinsip ini orang Jawa mengenal prinsip manunggaling kawula gusti. Keempat, penyamaan mikrokosmos /makrokosmos. Dalam pandanganya, Islam kejawen sudah banyak bercampur dengan tradisi Hindu-Budha dan juga banyak dipengaruhi penafsiran tradisi-tradisi Indo-Persia yang berkaitan dengan mistikus al-Hallaj.
Penelitian-penelitian ilmiah seperti itu tidak lantas memunculkan hipotesis bahwa kesesatan telah menghegemoni semua hasil inkulturasi. Namun, lepas dari hal tersebut pemahaman yang sudah merujuk pada kesyirikan dan bertentangan dengan ajaran Islam tentunya harus ditinggalkan, tetapi pada budaya yang murni dan tidak kontradiksi dengan subtansi maupun esensi ajaran Islam harusnya tetap dipertahankan, sebab itulah identitas yang dimiliki oleh suatu bangsa. Budaya ini pada akhirnya akan menghiasi heterogenitas bangsa.
Contoh inkulturasi budaya yang representatif dengan ajaran Islam adalah hari raya ketupat. Hari raya yang disebut oleh orang Jawa sebagai riyoyo ketupat itu dirayakan pada hari ketujuh setelah Idul Fitri. Pelaksanaannya diaplikasikan dengan membuat ketupat yang kemudian dibawa di musholla atau masjid dan dimakan bersama-sama di sana. Tata cara seperti lazimnya terjadi di desa, semisal Bojonegoro dan sekitarnya. Namun, tradisi semacam ini sudah banyak ditinggalkan. Umumnya masyarakat lebih memilih makan ketupat di rumah mereka masing-masing. Inkulturasi semacam ini merupakan perpaduan antara unsur Jawa yang dulu didominasi Hindu-Budha dengan Islam. Dulu masyarakat Jawa membuat ketupat yang kemudian dibawa ke gunung atau tempat keramat sebagai persembahan bagi kekuatan ghaib tertentu. Para wali penyebar Islam tidak menghapus adat ini, tetapi mengubahnya dan memberi nafas-nafas Islam. Hal ini membuat Islam mudah diterima di Jawa.
Walaupun adat seperti ini tidak terdapat di Islam, tetapi pada hakikatnya hari raya ketupat merupakan tradisi yang menekankan rasa kebersamaan dan persatuan. Hal tersebut adalah inti ajaran Islam, yakni persatuan sesama muslim, sebagaimana hadis Nabi “al-mu’min li al-mu’min ka al-bunyān yasyuddu ba‘duhum ba‘dān”, sekaligus sebagai sarana saling memberi.
Selain itu, tradisi lain yang merupakan inkulturasi Islam dan budaya ialah selamatan. Hajatan orang Jawa tersebut pada dasarnya merupakan tradisi dari Hindu-Budha masa lalu. Mereka membuat tumpeng atau ambeng yang kemudian dipersembahkan pada kekuatan-kekuatan tertentu untuk suatu tujuan tertentu. Namun, oleh para wali penyebar agama Islam dihilangkan unsur Hindu-Budhanya dan diberi nilai-nilai ajaran Islam. Selamatan tidak lagi dipersembahkan untuk hal-hal yang syirik, tetapi diberikan pada sesama muslim sebagai sedekah.
Hubungan selametan dengan keharmonisan alam disimbolkan dengan membuat nasi golong beserta lauknya yang berupa ikan. Itu berarti kita harus terus-menerus melestarikan tumbuhan yang berdaun lebar untuk membungkus nasinya, juga harus melestarikan laut dan sungai agar tetap menjadi sumber kehidupan bagi ikan. Inilah yang membuat sumber kehidupan semakin harmonis. Keharmonisan yang diperlukan bagi ketentraman hidup manusia.
Namun, tradisi-tradisi tersebut tidak berarti mematikan tradisi-tradisi Islam klasik (turaś), tetapi keduanya bisa disinergiskan bersama-sama. Baik turaś maupun tradisi lokal adalah anugerah Tuhan. Keduanya harus ada balancing, sehingga akan tercipta kehidupan yang stabil. Kehidupan yang membawa kenyamanan bagi setiap individu.

E. Kolerasi keilmuan Islam dan budaya
Agama Islam sebagai sumber keselamatan tentunya memiliki metode-metode tersendiri untuk menyikapi hidup. Di dalamnya penuh dengan kebijaksanaan cara mengarungi hidup, baik di dunia maupun akhirat. Bagaimana manusia bersosialisasi dengan alam sekitar serta budaya yang ada pun niscaya terdapat di dalamnya.
Dalam agama Islam, beragam keilmuan muncul dan berkembang. Satu bidang kajian ilmu mengembang menjadi beragam sub-sub ilmu baru sesuai perkembangan zaman. Keilmuan al-Qur’an misalnya, mucul berbagai macam disipilin ilmu seperti ilmu tafsir, ulumul Qur’an, ilmu Qiroat, dan lain sebagainya. Begitu pula dalam keilmuan hadis, ilmu hadis dalam perspektif sunni dan syiah menghiasi keilmuan Islam yang bertujuan mengidentifikasi orisinalitas hadis Nabi tersebut. Hal itu membuktikan ilmu Islam tidak hanya bersifat statis, tetapi dinamis dan selalu mengikuti perkembangan peradaban.
Dalam ushul fikih sendiri sebagai salah satu tradisi keilmuan Islam klasik menyebutkan adat atau tradisi sebagai salah satu sumber hukum sekunder. Adat atau tradisi ini disebut sebagai ‘urf. ‘Urf didefinisikan sebagai sesuatu yang diketahui dan dilakukan oleh manusia, dari ucapan, perbuatan, maupun peninggalannya. Adat dibagi menjadi dua, yakni adat yang baik (şahih) dan adat yang buruk (fāsid). Adat şahih merupakan sesuatu yang diketahui manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, bukan menghalalkan yang haram, dan menghalalkan yang haram. Sementara adat fāsid adalah sesuatu yang diketahui manusia, tetapi menyalahi hukum syara’, menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal. Disinilah fungsi Islam sebagai filterisasi dari budaya yang buruk, sehingga tradisi lokal yang kiranya baik bisa diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam proses interpretasi pada teks haruslah mengetahui tujuan diberlakukannya suatu hukum (maqāsid al-syarī‘ah). Metode semacam ini sudah banyak dilakukan oleh ulama klasik semisal Imam Abū Ishāq al-Syātiby (w. 790 H.) dalam bukunya al-Muwāfaqāt fī Uşūl al-Syar’iyah. Metode ini memberikan keluasan ajaran Islam agar bisa diaplikasikan di seluruh penjuru dunia, sekaligus representatif dan akomodatif untuk diterapkan di era kontemporer. Metode yang dipakai al-Syātiby juga layaknya mengilhami beberapa ulama kontemporer untuk mencari esensi dari ajaran Islam itu sendiri, semisal Muhammad al-Ghazāli dan Yūsuf Qardhawi dalam pemahaman terhadap hadis Nabi. Dari maqāsid syari’ah tersebut itulah dapat didapatkan pemahaman Islam yang rahmatan li al-‘ālamīn.
Agama Islam adalah ajaran yang universal bagi seluruh umat manusia. Hukum fikih yang dimilki bersifat relatif, temporal, dan lokalistik. Pemahaman ini niscaya berimplikasi pada realisasinya dilapangan yang juga harus didasarkan pada kondisi sosial masyarakat. Sehingga Islam bisa diterima sebagai rahmat bagi seluruh alam.

F. Pesantren sebagai penegak harmonitas Islam dan budaya
Pesantren sebagai lembaga pendidikan pertama di tanah air dengan model asrama yang didatangi semua lapisan masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah dan rakyat jelata, berbeda dengan pendidikan dalam Hindu-Budha yang hanya didatangi anak-anak golongan aristokrat. Model asrama yang berorientasi pada agama tersebut mampu membangun rasa persatuan, baik antar santri, maupun santri dengan kyai. Sistem pengajaran di dalamnya menekankan kesederhanaan hidup serta ketaatan pada kyai. Dari ketaatan pada kyai itulah diharapkan muncul “barakah” yang didapatkan setelah menjadi alumni.
Pesantren -- khususnya pesanren NU -- sebagai basis keislaman tertua di Indonesia mempunyai jargon “al-muhāfazah ‘alā al-qodīm al-şālih wa al-akhźu bi al-jadīd al-aşlah” (mempertahankan tradisi masa lalu yang baik dan mengambil tradisi atau budaya baru yang lebih baik). Jargon ini merupakan landasan dalam mengembangkan harmoni yang sehat dengan budaya lokal, meskipun selama ini masih belum berjalan dengan sempurna. Untuk menjaga harmonitas tersebut, pesantren menjadi akomodatif terhadap budaya setempat dan kurang memiliki greget pengembangan, sedang penghormatan terhadap tradisi dan pemikiran masa lalu membuat pesantren merasa gamang untuk mempelopori perubahan dan pengembangan budaya atau tradisi baru yang lebih konstruktif.
Umpama dalam budaya wayang kulit. Dalam masyarakat pesantren hampir tidak dipermasalahkan apa hukumnya. Ada yang mengambil sikap tidak boleh, tetapi tidak sedikit pula yang membolehkan, tergantung dari person masing-masing. Bagi orang yang tidak memperbolehkannya memakai argumentasi mendengarkan nyanyian hingga terlupa pada Allah (źikrullāh), padahal tidak ingat Allah hukumnya haram. Selain itu, alasan yang lain adalah bercampur baurnya laki-laki dan perempuan pada waktu malam. Namun bagi orang yang berpendirian boleh, mereka memegangi hukum “al-aşlu fī al-asyā’ al-ibāhah”, sehingga ada alasan (‘illat) yang mengharamkannya. Hukum itu tergantung pada alasan yang mendasarinya (al-hukmu yadūru ma‘a ‘illatihi). Selain itu, banyak pula tontonan wayang yang bernilai religius dan dapat diambil manfaatnya, seperti jimat kalimosodo (dua kalimat syahadat) yang konon diciptakan wali songo. Disinilah terlihat peran pondok pesantren yang mengharmoniskan Islam dan budaya lokal, sehingga keduanya bisa berjalan bersama-sama tanpa adanya penolakan terhadap adat tertentu.
Orang-orang pesantren dikenal sebagai kaum tradisionalis yang akomodatif terhadap budaya lokal meskipun bersama-sama santri berusaha memperoleh jati diri sendiri, agar tidak tenggelam pada praktek abangan. Pesantren merupakan tempat penanaman tauhid sekaligus tempat subur untuk pengembangan budaya dan peradaban muslim. Disinilah terlihat sistem balance yang tampak pada pondok pesantren. Budaya yang ada tidaklah dilarang selama tidak menyalahi tauhid.
Sikap kompromi terhadap budaya lokal inilah yang oleh orang luar pesantren dimaknai sebagai sebagai sikap permisif, tidak tegas, dan bid’ah haram yang dilakukan umat Islam. Sementara oleh kyai dan santri pesantren hal demikian dianggap sebagai suatu pilihan dan pendekatan dalam dakwah dengan pendekatan kultural yang selamanya boleh asal didasarkan pada akhlaqul karimah. Pendekatan seperti ini nyata-nyata berhasil dalam penyebaran Islam yang dilakukan oleh para wali songo di tanah Jawa.
Dalam problematika yang mewarnai budaya lokal yang dianggap bid’ah, KH. Hasyim Asy’ari mengatakan sebagaimana ia mengutip al-‘allāmah Muhammad Waliyuddīn al-Syibsyirī dalam Syarh al-’Arba‘īn al-Nawawiyyah mengenai hadis “Siapa yang membuat hal-hal baru atau mencetak orang yang pekerjaanya membuat hal-hal baru, maka ia mendapat laknat Allah”. Hadis ini mencakup masalah transaksi yang cacat, menentukan hukum tanpa punya pengetahuan, melakukan penyimpangan, dan sejenisnya yang tidak sesuai dengan syara’. Adapun masalah-masalah yang tidak keluar dari dalil syara’ seperti masalah-masalah ijtihadiyah, yang antara dalil dan masalahnya tidak ada hubungannya, kecuali sangkaan si mujtahid saja. Penulisan mushaf, menerbitkan berbagai macam kitab madzhab, kitab-kitab nahwu, dan matematika, tidak termasuk ke dalam hal ini. Oleh sebab itu Imam bin Abd al-Salam membagi hal-hal baru (hawādiś) menjadi lima :
1. Wajib, seperti belajar nahwu dan hal-hal asing dalam al-Qur’an dan hadis yang bisa digunakan untuk memahami syariat.
2. Haram, seperti madzhab Qadariyah, Jabariyah, serta Mujassimah.
3. Sunnah, seperti membuat pondok-pondok dan madrasah-madrasah baru, dan semua kebaikan yang tidak ada pada masa awal.
4. Makruh, seperti menghiasi masjid dan menghiasi mushaf.
5. Boleh, seperti bersalaman setelah salat subuh dan asar, dan memperbesar tempat makan, minum, pakaian, dan lainnya.
Dalam perspektif KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana dikutip dari al-Salam tersebut, apa yang dibilang oleh orang sebagai bid’ah, seperti membuat tasbih, melafadkan niat, tahlil ketika selametan orang yang meninggal dunia tanpa adanya sesuatu yang menghalangi, ziarah kubur, dan sebagainya sebenarnya tidaklah bid’ah. Sementara dalam pandangan komunitas yang lain, bid’ah dimaknai secara tekstual, yakni segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Jadi jelaslah, perdebatan tentang budaya lokal yang bernafaskan Islam merupakan bid’ah atau bukan hanya terkait dengan perbedaan konsep bid’ah yang dipakai oleh masing-masing perspektif. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh keberagaman interpretasi pada teks yang ada.

G. Penutup
Inti penjelasan penulis di atas bisa dianalogikan dengan pohon kurma dan pohon kelapa. Keduanya merupakan dua pohon yang membutuhkan lokal yang berbeda. Pohon kurma hanya bisa tumbuh di padang pasir, sementara pohon kelapa kebanyakan tumbuh di dekat pantai. Keduanya bisa hidup subur dengan membangun harmoni bersama kondisi-kondisi setempat yang mendukung, tetapi keduanya tidak bisa dipertukarkan. Namun, keduanya punya kesamaan yang sangat dasar, yakni tumbuh ke atas seakan-akan menuju kepada Sang Maha Tinggi. Begitu pula pemahaman pada agama, walaupun Islam Arab dan Islam non-Arab memiliki beberapa perbedaan, khususnya dalam bidang budaya. Namun, tidak menjadikan yang disebut Islam hanya Islam Arab saja, akan tetapi non-Arab juga disebut Islam, sebab mereka sama-sama menuju ke hadirat Allah swt.
Harmonisasi Islam dan budaya dengan metode filterisasi dari aspek yang tidak sesuai haruslah diaplikasikan, sehingga akan didapatkan makna sebenarnya dari Islam yang rahmatan li al-‘ālamīn. Namun, hal itu tidaklah berarti merefusi turaś, tetapi menjalankan keduanya secara sinergis agar diperoleh kehidupan yang tentram. Suatu kehidupan yang berorientasi pada kenyamanan dan keharmonisan. Wallāhu a’lam bi al-şawāb













DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.
Al-’Aşfahānī, Rāgib. Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Ma’rifat, t.t.
Asy’ari, KH. Hasyim. Sang Kiai: Fatwa KH. Hasyim Asy’ari Seputar Islam dan Masyarakat, terj. Jamal Ma’mur Asmani. Yogyakarta: Qirtas, 2005.
Azra, Azumardi. Islam dan Nusantara. Bandung: Mizan Media Utama, 2002.
Baso, Ahmad (dkk.). Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Erlangga, 2003.
Bruinessen, Martin Van. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru, terj. Farid Wajidi. Yogyakarta: LkiS, 1994.
CD Room Mausu‘ah al-Hadīś al-Syarīf.
Faruqi, Ismail R. Islam dan Kebudayaan, terj. Yustiono. Bandung: Mizan Media Utama, 1991.
Hakim, Abdul Hamid. Mabādi Awwaliyah. Jakarta: Sa‘diyah Putra, t.t.
Harun, Nasrun. Ushul Fikih I. Yogyakarta: Logos, 1996.
Kalijaga, UIN Sunan. Akhlak/Tasawwuf. Yogyakarta: Pokja Akedemik, 2005.
Khallaf, Abdul Wahab. ‘Ilmu Uşhūl al-Fiqh. Kairo: Dār al-‘Ilmi, 1978.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
--------- . Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Nata, Abudin . Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Peterson, Yan. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris. Surabaya: Karya Agung, 2005.
Roqib, Moh. Harmoni dalam Budaya Jawa: Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2007.
Kuntowijoyo. Muslim tanpa Masjid. Bandung: Mizan, 2001.
Soekanto, Soejono. Sosiologi: Suatu pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Rozaq, Abdur dan Rosikhon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Suryadi. Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi: Perspektif Yūsuf Qardhawi dan Muhammad al-Ghazāli. Yogyakarta: Teras, 2008.
Woodward, Mark R. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terj. Hairun Salim HS. Yogyakarta: LkiS, 2006.
Pasang Kode Iklan sobat yg berukuran 120 x 600 disini!
Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/cara-pasang-iklan-di-samping-kiri-blog.html#ixzz1eavJZnQj