QUR'ANIC STUDIES HADITH STUDIES GENERAL KNOWLEDGE
ISLAMIC NEWS GENERAL NEWS SCHOLARSHIP NEWS
HAPPY STORY SAD STORY CERPEN
MY PROFILE MY VILLAGE YOGYAKARTA
> cellspacing="0" width="
600" style="border-collapse:collapse" cellpadding="" height="28">

bgcolor="#73A4E7" onclick="javascript:location.href='http://ISI URL WEB ATAU BLOG.com/'" align="center">Halaman Depan
bgcolor="#73A4E7" onclick="javascript:location.href='http://blogputra.com/'" align="center">
Siapa Putra ?

Hacking
bgcolor="#73A4E7" onclick="javascript:location.href='http://blogputra.com/'" align="center">
Blogging
komputer
bgcolor="#73A4E7" onclick="javascript:location.href='http://blogputra.com/'" align="center">
Seputar Internet

Sabtu, 18 Desember 2010

Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd: Sebuah Interpretasi Berbasis Responsif Terhadap Pergolakan Pemikiran Antar Golongan

Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd: Sebuah Interpretasi Berbasis Responsif Terhadap Pergolakan Pemikiran Antar Golongan

A. Pendahuluan
Al-Qur’an, sebagai sumber utama agama Islam merupakan teks yang mempunyai banyak penafsiran (multi-interpretasi). Penafsiran-penafsiran ini sangat dipengaruhi oleh background penafsir dan juga kondisi sosio-historis yang menyelimuti dirinya. Sehingga tidak jarang terlihat perbedaan interpretasi antara satu penafsir dengan penafsir lainnya yang berbeda zaman maupun latar belakang. Selain itu juga, perang pemikiran yang terjadi juga turut mewarnai serba-serbi penafsiran yang ada.
Ibnu Rusyd, seorang filosuf sekaligus faqih yang hidup pada abad ke-12 Masehi, merupakan salah satu ulama yang pada eranya terjadi gejolak pemikiran yang sangat dahsyat, apalagi setelah al-Ghazali menolak dan mengkafirkan filsafat dan termanifestasikan dalam bukunya tahafut falasifah. Dampak penolakan al-Ghazali ini terhadap filsafat sangat mempengaruhi umat Islam kala itu, sehingga banyak orang Islam menolak mempelajari filsafat serta mengharamkannya. Hal inilah yang banyak dianggap intelektual sebagai awal stagnasi dalam pemikiran Islam.
Sebagai seorang filosuf yang sangat mengedepankan akal sebagai landasan berpikirnya, Ibnu Rusyd tidak tinggal diam. Ia menulis buku tandingan al-Ghazali tersebut yang berjudul tahafut al-Tahafut. Namun, gejolak intelektual ini tidak bisa menghadang hujaman kafir al-Ghazali terhadap filsafat. Disinilah terdapat perang pemikiran (gazwul fikri) antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd yang keduanya saling mengkafirkan satu sama lain. Selain itu, era Ibnu Rusyd juga dipenuhi oleh Hasyawiyah, golongan Mutakallimin (Asyariyah dan Mu’tazilah) serta sufi yang banyak menceritakan perdebatan-perdebatan yang sulit dijangkau akal pada masyarakat awam. Sehingga berdampak kebingungan pada syariat yang ada.
Oleh karenanya dalam memahami al-Qur’an, Ibnu Rusyd mempunyai metode tersendiri dalam mensikapi apa yang terjadi tersebut. walaupun dalam diri Ibnu Rusyd sendiri tertanam aspek-aspek filosofisnya. Maka dalam makalah singkat ini, penulis akan sedikit mendeskripsikan pemikiran Ibnu Rusyd mengenai intrepretasinya pada al-Qur’an, sebagai sumber primer dalam khazanah keislaman.
B. Sekilas Biografi Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd bernama lengkap Abu al-Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Ia lahir di Cordoba, salah satu kota di Andalusia (Spanyol) pada tahun 1126 M. dan wafat pada tahun 1198 M. dalam usia 72 tahun. ia merupakan keturunan dari keluarga yang ahli dalam ilmu fikih. Ayah dan kakeknya pernah menjabat di Andalusia sebagai kepala pengadilan. Pemikiran Ibnu Rusyd di barat terkenal dengan nama Averoisme. Ia sendiri disebut Averroes, sedangkan pengikutnya disebut Averroistae.
Filosuf Eropa satu ini lahir pada masa pemerintahan al-Mufarriah yang digulingkan oleh golongan al-Muhadiah di Marrakusy pada tahun 542 H/1147 M., yang menaklukkan kota Cordoba pada tahun 543 H./1148 M. Gerakan al-Muhaddiah dimulai oleh Ibnu Tumart yang menyebut dirinya sebagai al-Mahdi. Dia berupaya meniru golongan-golongan Fatimiyah, yang muncul seabad sebelumnya dan berhasil membentuk kekaisaran di Mesir.
Banyak ilmu yang sudah dipelajari Ibnu Rusyd, semisal matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Dalam kajian filsafat, Ibnu Rusyd lebih banyak menelaah dan mengulas pemikiran-pemikiran Aristoteles lewat karya-karyanya. Sehingga ia disebut sebagai “juru ulas” dan dengan sebutan itulah ia dikenal oleh masyarakat Eropa abad pertengahan. Karya-karya Aristoteles inilah yang berpengaruh besar dalam pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd, termasuk filsafat.
Beberapa karya yang diukir oleh Ibnu Rusyd antara lain, Fashl Maqal, al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, dan Tahafut al-Tahafut. Ketiganya merupakan pandangan-pandangan filosofinya, Bidayatul Mujtahid, buku ini adalah karya yang memuat pendapat-pendapat ulama madzhab tentang problematika yurisprudensi Islam (fikih), Colligent (kulliyah fi Thibb), berisi tentang tata cara pengobatan, dan karya-karyanya yang lain.
C. Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd merupakan seorang filosuf Muslim yang ingin memadukan filsafat dan syariat. Keduanya merupakan dua entitas yang berdiri sendiri, tetapi sebenarnya keduanya menyatu dalam kebenaran. Menurutnya, filsafat dan syariat terkadang beriringan dan terkadang pula berbeda. Titik kesamaannya bertumpu pada kesamaan metode dan tujuan. Keduannya menggunakan metode demonstratif – selain dengan retorika dan dialektika -- dan sama-sama memiliki tujuan untuk mengetahui Tuhan. Sementara perbedaan yang ada pada keduanya berkisar pada sasaran yang dituju. Filsafat lebih ditujukan pada sebagian kecil masyarakat, akan tetapi syariat diperuntukkan bagi seluruh golongan masyarakat.
Bertolak pada perbedaan sasaran, Ibnu Rusyd mengklasifikasikan masyarakat menjadi dua komunitas. Pertama, masyarakat terpelajar yang mampu menggunakan akalnya secara maksimal. Kedua, masyarakat awam yang hanya menggunakan kemampuan indrawinya. Perbedaan keduanya ini terletak pada perinciannya, sesuai dengan kemampuan nalar, tabiat, kebiasaan, dan aktifitas pembelajarannya, bukan pada objek pembelajarannya.
Ibnu Rusyd membagi kategori masyarakat terpelajar berdasarkan kemampuan menggunakan akal menjadi dua cabang, yakni filosuf dan non-filosuf (Hasyawiyah, ahli kalam, dan Sufi). Perbedaan keduanya terletak pada kualitas metodenya. Ibnu Rusyid membagi metode berpikir menjadi dua: 1) metode berpikir non-rasional yang biasanya berbentuk retorika, dan 2) metode berpikir rasional yang terdiri dari dua metode, yakni dialektika dan demonstratif. Dalam konteks ini, Ibnu Rusyd sangat mendewakan metode demonstratif.
Sebagai seorang filosuf tentunya ia sangat mengunggulkan metode berpikir komunitasnya. Ibnu Rusyd menjelaskan metode retorika hanya diperuntukkan bagi masyarakat awam, sebab mereka hanya mengandalkan kepuasan indrawi semata. Sedangkan dua metode rasional diperuntukkan untuk masyarakat terpelajar yang menggeluti pemikiran rasional. Akan tetapi dalam pandangan Ibnu Rusyd, metode demonstratif tetaplah lebih unggul daripada metode dialektika, karena metode dialektika tidak bisa mencapai derajat metode demonstratif. Metode dialektika tidak bisa memuaskan masyarakat awam sebab membuat mereka menjadi bingung dan juga tidak bisa juga memuaskan filosuf yang menggeluti metode demonstratif.
Dalam interpretasinya pada al-Qur’an, Ibnu Rusyd mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur’an menjadi tiga. Pertama, ayat-ayat tertentu yang hanya memiliki satu makna lahir. Ia cukup dipahami secara lahiriyah dan tidak boleh ditakwilkan. Ada dua hukum yang berkaitan dengan kategori ini. Jika ayat-ayat itu membahas persoalan-persoalan prinsipil dalam syariat, maka tindakan penakwilan dihukumi kafir. Namun jika ayat-ayat yang ditakwilkan itu menyangkut hal-hal non prinsipil dalam syariat, maka ia menghukumi tindakan penakwilan itu sebagai bid’ah. Sebagai contoh untuk persoalan prinsipil adalah tentang iman kepada Allah, kenabian Muhammad, dan keberadaan hari akhir. Dengan demikian, baik kalangan terpelajar maupun non-terpelajar harus mengambil maknanya secara dzahiriyah.
Kedua, ayat-ayat tertentu yang yang mempunyai dua makna, yakni makna lahiriyah dan makna bathiniyah. Ayat-ayat kategori ini wajib ditakwilkan, terutama oleh orang yang menggunakan metode demonstratif. Dia menghukumi kafir terhadap ahli interpretasi demonstratif yang mengartikan ayat (syariat) seperti itu hanya pada aspek lahiriyahnya saja. Sebaliknya, ia menghukumi kafir atau bid’ah bagi mereka yang menakwilkan ayat kategori ini, dan kemudian membeberkannya pada masyarakat awam. Contohnya seperti istiwa’ dan hadis al-Nuzul. Selain itu, dia juga menghukumi kafir bagi masyarakat awam yang menerima hasil takwil.
Dari kategori ini (dua makna), muncullah tiga kategori wacana al-Qur’an. Pertama, wacana lahiriyah al-Qur’an yang khusus diberikan pada masyarakat awam, seperti ayat tentang istiwa’ dan nuzul Tuhan. Hal ini tidak berarti makna hakikinya terletak pada lahiriahnya, akan tetapi karena keterbatasan kemampuan orang awam. Sehingga makna hakiki tersebut disimbolkan dengan makna lahiriyahnya. Kedua, wacana bathiniyah al-Qur’an yang khusus diberikan kepada masyarakat terpelajar. Ketika hendak diberikan pada masyarakat awam, ayat-ayat kategori ini harus diberikan dalam bentuk perumpamaan. Misalnya tentang keberadaan Allah sebagai pencipta. Ketiga, wacana bathiniyah al-Qur’an yang diberikan pada masyarakat terpelajar dan awam secara bersama-sama dengan cara menggunakan perumpamaan, seperti ayat yang berbicara tentang keesaan Allah. Wacana batiniyah kategori ketiga ini adalah makna batiniyah kedua dari ayat-ayat yang termasuk kategori kedua (dua makna).
Ketiga, ayat-ayat yang ambigu, yakni ayat-ayat yang berada di antara dua kategori di atas. Kategori ini, menurut Ibnu Rusyd bisa melahirkan ragu di kalangan pemikir, khususnya yang menggeluti metode demonstratif. Sebagian menganggap kategori ini termasuk aspek lahiriyah syariat yang tidak boleh ditakwilkan dan sebagian yang lain menganggap aspek bathiniyah syariat. Oleh sebab itu, Ibnu Rusyd melarang filosuf (ulama) membawanya ke makna lahiriyah. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan pelik dan samarnya ayat-ayat ketegori ketiga ini. Akan tetapi, jika diantara mereka melakukan kesalahan dalam bidang ini, hal itu bisa dimaafkan. Dalam kategori ini juga, Ibnu Rusyd menghukumi kafir bagi terhadap ahli demonstratif yang membeberkan wacana takwilnya pada masyarakat awam. Bagi masyarakat awam, ia wajib dibawakan pada makna lahiriyahnya. Dia juga menghukumi kafir terhadap masyarakat awam yang menerima wacana takwil tersebut. Contoh dari kategori ini adalah kebangkitan kembali manusia.
Dalam pandangan Aksin Wijaya, dimensi pemikiran Ibnu Rusyd dalam bidang interpretasi al-Qur’an ini bisa dikategorisasikan menjadi dua bentuk interpretasi, yaitu berbasis Aristotelean dan berbasis Dzahiriyah. Keduannya terluapkan dalam pemikiran Ibnu Rusyd terhadap al-Qur’an. Dikatakan berbasis Aristotelean, sebab ia memang sangat dipengaruhi oleh filsafat demonstratif Aristoteles. Kecenderungan ini termanifestasikan dalam bentuk teori interpretasi al-Qur’an yang dijabarkannya bahwa metode demonstratiflah yang menjadi metode paling tinggi dalam segi pemikiran. Selain itu, ia juga sangat memuja-muja Aristoteles sebagai manusia yang Ma’sum (jauh dari kesalahan). Sedangkan disebutkan berbasis Dzahiriyah, karena dalam teori interpretasi al-Qur’an ia lebih banyak menggunakan metode yang lahir dari Syari’at yang bersifat sederhana. Sebab Syari’at diperuntukkan untuk mayoritas jenis masyarakat. Selain itu, basis Dzahiriyah ini juga kentara dari responnya terhadap golongan-golongan keagamaan yang ada pada masanya, yaitu Hasyawiyah, Mutakallimin (Asyariyah dan Mu’tazilah), dan Sufi. Ibnu Rusyd mencela mereka sebab telah menyebarluaskan perdebatan-perdebatan pada kaum awam yang seharusnya hanya diketahui oleh kaum terpelajar. Hal ini menyebabkan kebingungan golongan awam itu sendiri pada Syariat. Menurut Filosuf Anadalusia ini, masyarakat awam seharusnya hanya diberitahukan makna lahiriyah al-Qur’an saja tanpa menyebutkan dimensi bathinyahnya. Disinilah terlihat dualisme pemikirannya, di satu sisi ia sebagai seorang filosuf yang harus rasional, tetapi disisi lain dia lebih banyak mengadopsi makna lahiriyah al-Qur’an dalam rangka pembelaannya terhadap syari’at.
D. Kongklusi
Dari pembahasan penulis yang sangat singkat tersebut, bisa ditarik kesimpulan dengan bagan sebagai berikut :
Awam
Masyarakat Filosuf
Terpelajar
Non-Filosuf






Memiliki satu makna lahir
Ayat al-Qur’an Memiliki dua makna (lahir dan batin)
Ambigu (ragu)
Selain itu juga, bisa dipahami bahwa seorang filosuf sekaliber Ibnu Rusyd ternyata juga sangat memperhatikan syariat, terutama pemahaman agama orang awam. Sehingga pembagian keilmuan tafsir al-Qur’an serta ayat-ayatnya menjadi sangat kenara dalam teori interpretasinya. Hal ini agaknya yang membedakannya dengan ideologi filosuf lainnya yang lebih cenderung rasionalis dan tidak tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’an.

Selasa, 07 Desember 2010

“Adakah Pengumpulan al-Qur’an Pada Era Abu Bakar?”

Mayoritas umat Islam meyakini bahwa pengumpulan al-Qur’an pertama kali dilakukan oleh Abu Bakar atas inisiatif Umar. Alasan pengumpulan ini berkutat pada banyaknya huffadz yang meninggal dalam perang Yamamah. Disebutkan dalam satu riwayat Bukhari bahwa korban berjumlah 70 orang.
Pada awalnya, Abu Bakar tidak menerima usulan Umar, tetapi setelah memberikan penjelasan, maka terbukalah hati Abu Bakar dan menerima usul untuk mengumpulkan al-Qur’an tersebut. Abu Bakar lantas menyuruh Zaid bin Sabit untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an. Setali tiga uang dengan Abu Bakar, sebenarnya Zaid sempat menolak, tetapi setelah melalui tahapan sharing, maka Zaid pun menerima perintah itu. Setelah itu, ia mengumpulkan al-Qur’an dari pelepah kurma, bebatuan, dan kulit binatang. Dalam proses penerimaan ayat al-Qur’an, dia hanya akan menerimanya jika disaksikan oleh dua saksi. Serta diceritakan pula bahwa akhir surat al-Taubah hanya didapatkan dari Abu Khuzaimah al-Anshary. Dari informasi tersebut, banyak intelektual muslim menyebutkan orang yang pertama kali mengumpulkan al-Qur’an adalah Abu Bakar, Sebut saja, al-Lais bin Sa’ad yang disebutkan oleh Ibnu Asytah dalam kitab Masahifnya dan Ibnu Syihab dalam kitab Maghazi Musa bin Uqbah.
Namun informasi tidak lantas sunyi dari perdebatan, sebab sebagian ahli sejarah ragu pada peristiwa yang dikisahkan dalam hadis shahih tersebut. Apakah peristiwa itu benar-benar terjadi ataukah hanya rekaan ulama-ulama belakangan. Mereka meragukan alasan pengumpulan itu adalah karena banyaknya penghafal yang gugur dalam perang Yamamah, sebab setelah diteliti ternyata sebagian besar yang meninggal dalam perang tersebut adalah orang yang baru masuk Islam dan hanya satu dua saja yang terbukti hafidz. Dalam sebuah versi riwayat lain disebutkan, Abu Bakar tidak menyetujui gagasan Umar dan oleh karena itu, pengumpulan al-Qur’an sejatinya dilakukan oleh Umar secara personal. Dalam riwayat lain disebutkan, Ibnu Baridah mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan al-Qur’an adalah Salim maula Abu Hudzaifah. Namun, al-Suyuthi mengatakan bahwa maksudnya adalah dia merupakan salah satu orang yang diperintah Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an.
Disebutkan oleh Luthfie al-Syaukani bahwa kisah pengumpulan al-Qur’an memang banyak diragukan oleh para sarjana. Bukan hanya karena terjadi kesimpangsiuran menyangkut kisah seputar upaya ini, tapi juga karena kita tidak mempunyai bukti adanya mushaf-mushaf lengkap Pra-Usmani. Oleh sebab itu, dia berpendapat bahwa pengumpulan al-Qur’an, baik oleh Abu Bakar maupun Umar – jika benar-benar ada --, maka hal itu adalah “Pengumpulan sementara” dalam rangka menyelamatkan ayat-ayat al-Qur’an yang berserakan. Kenyataan bahwa ada upaya serius dari khalifah ketiga, Usman bin Affan, untuk melakukan kodifikasi resmi menunjukkan bahwa mushaf-mushaf yang ada sebelumnya tidak bisa terlalu diandalkan sebagai “kitab suci yang utuh”.
Menurut asumsi penulis, wilayah sejarah memang niscaya akan menuai perbedaan antara satu narasumber dengan narasumber lainnya. Akan tetapi paling tidak kita menelaah kembali sumber yang dijadikan referensi, apakah ia “sehat” atau dalam artian shahih ataukah ia mempunyai “penyakit” atau dalam artian lemah atau bahkan mungkin palsu. Oleh sebab itu, standarisasi dalam proses penerimaan informasi haruslah dilakukan. Dalam konteks ini, cerita yang masyhur di kalangan orang Islam mengenai pengumpulan al-Qur’an pada era Abu Bakar ini lebih mempunyai kualitas yang bisa dipertanggung jawabkan. Informasi ini terekam dalam Shahih Bukhari, Sunan al-Tirmidzi, Musnad Ahmad, dan lain-lain. Sehingga menurut penulis, kisah pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar bisa diterima.
Penulis juga menambahi bahwa dimungkinkan juga ada mushaf-mushaf yang ditulis pada masa Nabi (Pra-Abu Bakar), sebab banyaknya penulis wahyu pada masa Rasulullah. Adapun penulisan yang sistematis baru dilakukan di Madinah. Al-Zanjani menyebutkan sekitar 30-an nama yang terlibat di dalamnya. Sehingga sangat memungkinkan mereka menulis mushaf bagi diri mereka pribadi. Selain itu, adanya mushaf-mushaf sahabat juga menunjukkan kemungkinan tersebut, seperti mushaf Ubay, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas. Akan tetapi menurut penulis, Abu Bakar tidak serta merta mengumpulkan al-Qur’an melalui media mushaf-mushaf tersebut. Sebab sebagaimana dilansir oleh al-Suyuthi bahwa mushaf-mushaf itu kontennya tidak lengkap dan berbeda-beda, semisal Mushaf Ubay 116 atau 115 surat dan Mushaf Ibnu Mas’ud 112 surat. Selain itu, mushaf-mushaf tersebut juga merupakan mushaf pribadi kepunyaan masing-masing. Dengan demikian, manuskripnya tidak bisa diserahkan pada orang lain.
Pasang Kode Iklan sobat yg berukuran 120 x 600 disini!
Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/cara-pasang-iklan-di-samping-kiri-blog.html#ixzz1eavJZnQj